
Pedagang bunga segar disepanjang Jalan Raya Pasar Kembang hingga Kedungdoron bakal segera menjadi kisah sejarah. Pemerintah bakal melakukan relokasi dengan ‘memuseumkannya’ ke Pasar Kupang. Bila fasilitas lebih baik dan modern tentu saja menjadi langkah positif. Ironisnya, kondisi lokasi baru jauh dari kata layak.
Nama Jalan Pasar Kembang sesuai dengan ciri khas kawasan ini, sebab di sepanjang bahu jalan berjajar penjual bunga segar, khususnya bunga untuk kepentingan ritual tertentu seperti pernikahan atau bunga pemakaman.
Memang belum ada catatan terdokumentasi tentang asal muasal nama kawasan Pasar Kembang. Tapi melihat eksistensi pedagang bunga di jalan ini, bisa dibayangkan keunikan kawasan ini pada masa-masa lalu. Bahkan di waktu-waktu tertentu seperti bulan ramadhan, bulan-bulan yang dianggap baik untuk melakukan pernikahan dan bulan ziarah untuk umat Kong Hu Cu, jumlah pedagang makin banyak, memenuhi jalan Pasar kembang sampai jalan Kedungdoro.
Mengapa jalan ini menjadi tempat perdagangan bunga segar? Secara lokasi, Pasar Kembang memang strategis diantara dua makam besar yaitu Pemakaman Umum Tembok dan Permakaman Kembang Kuning. Selain itu, sangat strategis karena di pinggir jalan, masyarakat yang tergesa-gesa untuk membeli--biasanya karena ada orang meninggal--bisa membeli secara cepat karena letaknya di pinggir jalan.
Sayangnya, warna-warni di sepanjang Jalan Pasar Kembang bakal menjadi cerita lama bagi generasi muda. Pasalnya, pemerintah Kelurah Kedungdoro dan Kecamat Tegalsari meminta semua pedagang meninggalkan lokasi untuk direlokasi ke Pasar Kupang. Total ada 13 pedagang bunga yang harus angkat kaki dari tempat legendaris ini.
Meski tak ada penolakan untuk relokasi dari para pedagang, namun tempat relokasinya dikeluhkan. Para pedagang juga merasa, relokasi tersebut bukan atas kemauan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, tapi kemauan dari lurah dan camat setempat saja.
“alasannya kami memicu kemacetan. Lha itu toko-toko, terus Rumah Makan Apeng yang mobil-mobil konsumennya diparkir pinggir jalan juga bikin macet, kok dibiarkan,” ujar Sulistiadi salah satu pedagang bunga.
Menurutnya, lurah dan camat pilih kasih dalam penertiban. Bahkan, Sulistiadi atau yang kerap disapa Didik ini mengatakan lurah dan camat saat ditanyakan hal itu, malah menolak untuk berbicara soal pedagang lain di kawasan itu. Menurutnya, lurah dan camat mengatakan ke pedagang bahwa “Bunga harus steril!”

Berdasarkan pengamatan di lapangan, di sepanjang Jalan Pasar Kembang juga ada pedagang-pedagang lain, terutama makanan. Kamis lalu misalnya, hanya ada 5 pedagang bunga yang buka lapak. Hal tersebut lah yang membuat pedagang bunga merasa dianaktirikan.
Pasar Kupang Tak Layak
Sebanyak 13 pedagang bunga sebenarnya tak keberatan jika direlokasi, namun dengan syarat tempatnya memadai dan tetap bisa omzet. Sayangnya, lokasi yang diberikan malah potensi memicu kerugian bagi pedagang.
Menurut Didik dan belasan pedagang lainnya, tempat baru yang digunakan untuk merelokasi mereka sangat tidak memenuhi syarat. Dari sisi bangunan, cenderung sudah lapuk dan perlu diperbaiki. “Pasti pindah, tapi pedagang minta waktu. Kami minta direnovasi dulu sebelum ditempati. PD Pasar Surya juga minta waktu untuk perbaikan. Tidak seperti yang diangankan bu lurah sama bu camat, sekarang ya harus sekarang,” jelas dia.
Untuk diketahui, di Pasar Kembang pedagang biasanya beroperasi mulai pukul 14.00 hingga pukul 06.00. Selama jualan di tepi jalan, saban hari mereka mengeruk penghasilan hingga Rp 300 ribu.
Untuk diketahui, bedak di Pasar Kupang yang akan digunakan untuk relokasi pedagang bunga semula adalah untuk pasar sayur. Menurut pedagang, tempat baru itu sulit diakses. Bahkan sepeda motor saja sulit masuk.
Sementara, dari sisi persaingan usaha, di Pasar Kupang sendiri sebenarnya merupakan tempat kulakan bagi pedagang bunga di Jalan Kembang. “Selama ini kami kulakan di Pasar Kupang. Untuk memudahkan pembelian dan menyesuaikan pasar, kami buka di Jalan Pasar Kembang. Nah kalau kami disatukan bagaimana nasib kami?” ujarnya.
Belum lagi, lokasi pedagang bunga yang direlokasi ditempatkan ada di belakang juragan (tempat kulakan). Meski dari pihak Satpol PP mengarahkan pembeli untuk ke belakang, menurut Didik, secara otomatis pembeli akan beli pada juragan yang lebih murah, karena juga bisa beli eceran.“Kita mau direlokasi tapi lahannya yang memenuhi syarat. Kalau ditaruh di pinggir jalan dan tempatnya strategis ya nggak masalah, seperti di Pasar Kembang,” ujarnya.
Jika harus memilih berjualan di pinggir jalan atau di dalam pasar, pedagang lebih memilih di pinggir jalan, karena pembeli tidak harus turun dan parkir.
Sementara itu, Sutikno yang sudah berjualan sejak 30 tahun lalu mengatakan, selama ini belum pernah ada rencana relokasi dari Pemkot Surabaya. Bahkan, di zaman WaliKota Surabaya ke-21, Soenarto Soemoprawiro menjabat, justru memperbolehkan pedagang bunga berjualan di lokasi tersebut.
Dia menyayangkan bila benar di zaman Walikota Surabaya sekarang, Tri Rismaharini pedagang dilarang berjualan di tempat tersebut. Apalagi di relokasi ke tempat yang tidak strategis.
Sebelum diminta pindah ke Pasar Kupang pada Jumat (13/9), pedagang telah bernegosiasi dengan lurah dan camat agar diperbolehkan berjualan hanya saat malam hari saja. Ia berharap kepada pihak yang bersangkutan, seperti lurah dan camat agar memperbolehkan berjualan hingga masa renovasi benar-benar selesai.
“Harapan saya walaupun siang tidak diperbolehkan yang penting malam tetap bisa jualan, kan sama-sama jualan di sini. Kalau menertibkan ya merata. Kalau disini kan sesuai dengan nama,” harapnya.
Selain itu, Ahmad Sulton pedagang bunga juga mengeluhkan kondisi tempat relokasi. Sekitar 80% Pasar Kupang saat ini rusak. Bahkan kerusakan tersebut sudah terbilang lama, lebih dari lima tahun. “Jangankan genting, kayu saja rubuh, sudah tidak memenuhi syarat. Kita menolak karena tempatnya tidak siap. Andaikan tempatnya layak, malah kita yang minta,” katanya.
Keresahan pedagang ini juga mendapat perhatian khusus dari dua anggota DPRD Surabaya Fraksi PDI Perjuangan, Tri Didik Adiyono dan John Thamrun. Kedua anggota dewan ini turut mengadvokasi pedagang ini tetap berjualan di sepanjang Jalan Kedungdoro.
Bahkan, menurut Didik, ia sudah komunikasi dengan lurah dan camat agar mengijinkan para pedagang tetap berjualan. Meskipun dengan berbagai syarat, seperti pedagang hanya berjualan di malam hari sebelum renovasi Pasar Kupang selesai.
“Dari hasil mediasi dengan lurah dan camat sudah ada kesepakatan bahwa para pedagang boleh berjualan pada malam hari, karena kalau masih berjualan di siang hari resiko ditanggung sendiri” terang didik.(Est/Ace)