
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) tak seharusnya dijauhi. Mereka butuh dirangkul, dengan kasih sayang tulus dari orang disekitarnya. Dengan resep sederhana itu, pasangan suami istri asal Ponorogo, Heru Setyawan dan Lamini berhasil menyembuhkan ratusan orang gila yang secara sukarela dirawatnya.
Siang ini, nampak 10 penghuni rumah penampungan ODGJ di Dukuh Krajan, Desa Paringan, Kec.Jenangan, Ponorogo tengah beraktivitas. Ada yang memasak, menyapu, salat dan ada juga yang duduk melamun sendirian. Ya, mereka adalah para penderita ganguan kejiwaan yang dirawat Heru dan istrinya.
Berawal dari banyaknya ODGJ yang tidak tertangani dengan baik, Heru berinisiatif membuat rumah penampungan bagi para ODGJ di Ponorogo.
" Sebelum membuat rumah penampunga ini, saya sejak tahun 90-an sudah tertarik membantu mereka yang ingin menjalani perawatan di rumah sakit jiwa,"katanya.

Saat itu dia selalu mengantarkan keluarga dan pasien ke RSJ di Solo. Seiring berjalannya waktu dan aturan pemerintah, Heru diarahkan untuk membawa pasien dari Ponorogo ke RSJ Lawang atau Menur yang berada di bawah Pemprov Jatim. "Karena selalu saya yang mengantar mereka, Direktur RSJ Lawang menjadi hafal dan meminta saya untuk mendata jumlah orang sakit jiwa di desa saya,"jelas pria yang memiliki 2 anak ini.
Pada tahun 2010-an diketahui ada 63 ODGJ di Desa Paringan. Hal ini tentu saja mengejutkan, apalagi setelah media massa memberitakan besar-besaran.
Sisi positifnya, pemerintah mulai memberikab perhatian, hingga keinginan Heru agar ada Postu Jiwa di desanya terealisasi." Saat ini ada semacam Puskesmas Pembantu khusus Jiwa di sini. Bahkan sudah 6 bulan ini ada dokter spesialisnya," ceritanya.
Namun, tantangan tak hanya berhenti di situ. Sebab, selain mendapat obat, orang sakit jiwa juga membutuhkan rehabilitasi agar mereka siap kembali ke masyarakat. " Kalau harua di RSJ, tentu saja biayanya tidak sedikit. Ada yang sampai menjual sawah," katanya.
Berawal dari rasa iba dan ingin membantu, Heru akhirnya merelakan rumahnya jadi penampungan.
Awalnya ada 4 orang pria yang menderita ganguan jiwa yang ditampung. Tiga orang diantaranya adalah warga sekitar dan satu orang ditemukan di jalan yang ternyata kemudian diketahui warga Ciamia, Jabar yang sudah hilang dari rumah selama 14 tahun.
"Kami merawat mereka, memberi kasih sayang selayaknya anak sendiri dan Alhamdulillah saat ini semua sudah kembali ke masyarakat. Ada yang jadi tenaga kerja di Taiwan, ada yang kerja di bangunan dan yang lain sudah pulang ke rumah masing- masing dan bisa membantu keluarganya," kenang Lamini.
Setelah itu, tak berhenti makin banyak warga yang menitipkan keluarganya yang menderita sakit jiwa, maupun orang gila yang ditemukan di jalan diantar ke rumahnya untuk ditampung.
Pasiennya berasal dari berbagai kota di Jatim, seperti Madiun, Magetan, Wonogiri, Trenggalek, dan Ponorogo sendiri.
Heru pun akhirnya berhas mendirikan bangunan layaknya asrama bagi para ODGJ. Ada 3 ruangan disini, masing-masing berukuran 3 x 2,5 meter dan saat ini menampung 10 penderita ODGJ. "Karena keterbatasan tempat dan tenaga, kami memutuskan saat ini hanya menerima pasien perempuan," katanya.
Disini mereka diajari untuk memenuhi kebutuhan dirinya secara mandiri. Mulai dari mandi, makan, memasak, dan cuci baju sendiri.
Heru dan Lamini mengabdikan dirinya menjadi guru kehidupan bagi para penghuni asrama."Kami sudah 28 tahun menjalani kegiatan ini," terang dia.
Menurutnya, tempat penampungannya ini baru dibangun. Awalnya para ODGJ ditempatkan bersebelahan dengan rumah milik keluarga Heru. Namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak jumlah penghuninya membuat Heru berinisiatif membangun asrama.
Berasal dari sumbangan para donatur serta memanfaatkan para ODGJ pria yang sudah sembuh untuk membantu membuat batako, Heru pun mulai membangun asrama. Tidak hanya bangunan asrama, ia juga memagari asrama dengan sesek (dinding dari bambu).
"Disini bukan rehabilitasi, tapi terapi. Kami ajari mereka untuk mandiri dan dibarengi dengan pengobatan," jelas dia.
Menurutnya, obat untuk para pasien bukan sembarangan. Tapi berasal dari dokter kejiwaan dari Dinas Kesehatan yang melakukan pengecekan 2 minggu sekali. Dokter yang menangani segi kejiwaan sesuai prosedurnya, pasien jiwa yang masuk kesini terlebih dulu menjalani pemeriksaan kesehatan. Nantinya, dokter mendiagnosa jenis penyakitnya."Tapi di sini semua jenis Skizofrenia," tuturnya.
Skizofrenia adalah gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguan ini menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku
Pihaknya wajib mencatat pula setiap perkembangan kejiwaan satu sama lain dari penghuni. Tujuannya untuk mengetahui sejauh mana upaya penyembuhan. Pencatatan itu disesuaikan dengan nama masing-masing.
Diakui Lamini, kegiatan kemanusiannya tersebut pasti ada risikonya.
"Tiap hari pasti ada aja yang melakukan kekerasan. Tapi itu pelecut bagi kami," kata Lamini.
Diakuinya, pihaknya merasa senang dan paling suka jika ada pasien yang sembuh, walaupun tidak 100 persen. Setidaknya para ODGJ yang dirawat bisa mengurusi dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain.
"Saya itu iba, saya ikhlas merawat mereka. Saya juga bersyukur bisa merawat ODGJ itu kok saya kuat," jelas Lamini.
Mayoritas Dipicu Masalah Keluarga
Terkait penyebab pasiennya mengalami gangguan jiwa, menurut Lamini rata-rata karena masalah keluarga. " Selain karena gen, mayoritas karena broken home, perceraian orangtua hingga perselingkuhan. Paling berat bila ada pasien yang sudah tidak punya alasan hidup.Kami harus memotivasinya," katanya.
Meski kelihatannya saat ini merawat ODGJ terlihat mudah, keduanya pun sempat mendapat pandangan sinis dari warga sekitar.
Mereka pun memaklumi keadaan tersebut, pasalnya warga takut jika ada penghuninya yang kabur dan berbuat onar di kampung.
"Alhamdulilah semakin lama warga semakin bisa menerima," imbuhnya.
Mereka yang dinyatakan membaik, akan diajari pekerjaan atau keahlian seperti membuat batako dan ternak lele.
Tercatat dari pasien yang sudah membaik, bekerja di sejumlah tempat kerja.
Mulai dari mengurus kebun, membersihkan tempat para penghuni bahkan penghuni yang lama mampu memasak dan menyediakan makanan bagi penghuni baru.
Untuk proses kesembuhan lanjut dia, tiap pasien beda-beda waktu pemulihannya. Ada yang menahun dan hanya dirawat di rumah. Ada juga pasien yang lama tak sembuh-sembuh.
Total ada 90 orang yang tercatat dan kembali beraktifitas normal layaknya warga pada umumnya. "Yang tidak tercatat juga banyak. Ada 100 lebih yang sudah lulus dari sini,"katanya.
Saat momen lebaran menjadi waktu ketika mereka yang pernah ditampung di sini bersilaturim. Diakui Heru, rasa bangga dan haru bercampur jadi satu, saat melihat mereka bisa bekerja dan berkeluarga.
" Paling sedih saat ada yang menitipkan keluarganya di sini terua tidal pernah dijenguk bahkan menanyakan kabar. Seakan- akan mereka dibuang," katanya.
Bagi Heru dan Lamini merawat orang gangguan jiwa tersebut, tidak untuk menuntut dan mengharap apapun, apalagi materi. Keberkahan dan doa mereka menjadi satu-satunya harapan serta keinginannya, kelak di waktu dirinya dan istri sudah tiada.
"Harapan terbesar kami, pemerintah memperhatikan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat sebesar kesehatan fisik.Mulai dari kemudahan fasilitas, termasuk biaya perawatan hingga mereka siap kembali ke masyarakat," katanya.(*)