
Keberadaan kera-kera di Ngujang,Tulungagung tak sekadar berbalut cerita mistis. Dari sisi lingkungan dan budaya, mengajarkan agar manusia bisa hidup berdampingan dan seimbang dengan makhluk lain.
Puluhan kera tampak berkeliaran di tepi jalan raya di sekitar jembatan Kali Brantas, Desa Ngujang, Kecamatan Ngantru, Tulungagung. Ada yang duduk-duduk di kerangka jembatan, ada pula yang tampak bersantai berkelompok di nisan-nisan makan yang ada di sebelah jembatan.
Lokasi ini tepat di sebelah selatan Sungai Brantas, yaitu di sisi utara Desa Ngujang. Di tempat tersebut, terdapat dua makam umum di sisi kiri dan kanan. Kedua makam itu saling berhadap-hadapan dan hanya dipisah jalan raya.
Satu komplek pemakaman Pecinan atau China, satunya lagi makam Jawa. Dan di makan Jawa inilah, tempat hidup dan berkumpulnya ratusan, bahkan ribuan kera, atau warga sekitar biasa menyebutnya lokasi Kethekan.
Bagi orang yang belum pernah memasuki kawasan ini, kemungkinan besar agar langsung merinding dan takut melihat kera-kera yang berkeliaran. Belum lagi lokasinya di area makam yang tentu saja langsung membawa suasana mistis.
“Tidak usah takut, kera-kera di sini jinak. Asal kita tidak menganggu, mereka juga tidak akan menyerang,” ujar Mbah Ribut, Juru Kunci kawasan Kethek’an Ngujang.
Diakuinya, kawasan ini memang kental dengan suasana mistis. Banyak pihak yang mengatakan kera di Ngujang adalah tempat ngalap pesugihan. “Itu tidak benar. Banyak yang meyakini kalau kethek-kethek yang menghuni makam Ngujang, adalah perwujudan si pemuja pesugihan yang sudah meninggal, termasuk wujud tumbal yang pernah dijadikan persembahan si pemuja semasa hidupnya. Singkat kata, kera-kera itu adalah mahkluk jadi-jadian alias jelmaan siluman. Itu salah,” tegas Mbah Ribut.
Ada yang mengatakan populasi kera-kera itu tidak bertambah maupun berkurang dari dulu. “Lha saya yang mengubur kalau ada kera yang mati. Jadi yang benar di sini ini bukan kera-kera gaib, lha wong kita semua bisa lihat. Yang benar adalah, kera-kera di sini dilindungi gaib,” tegasnya.
Menurut cerita, Desa Ngujang terbentuk dari dua kata yaitu ‘Ngu’ dan ‘Jang’. Pada zaman pengembangan Islam di tanah Jawa. Sunan kalikaga sempat singgah di lokasi tersebut untuk memberikan wejangan ke santri-santrinya. Saat memberikan nasihat, terdengar suara-suara kera. “Nguk..Nguk...begitu suaranya. Jadi Ngu itu berasal dari suara kera, sementara Jang dari potongan istilan Wejangan,” jelas Mbah Ribut.
Saat Sunan Kalijaga memberikan wejangan, ada dua santri yang malah masih asyik memanjat pohon. Dua bocah itupun ditegur. Katanya, "Nduk, le, kalian kok tidak ikut ngaji? Lihat teman-teman kalian sedang mengaji di pondok. Kalian kok malah memanjat pohon di sini, seperti kethek saja."
Menurut orang-orang kuno, khususnya orang-orang linuweh (sakti) kata-katanya ibarat karomah. "Kedua santri itu, konon menjadi monyet yang hidup di sekitar makam Desa Ngujang. Monyet yang sering terlihat di sekitar makam Ngujang itu, adalah keturunan dari dua santri yang dikutuk menjadi monyet,” katanya.
Diakui banyak versi cerita yang berkembang. Kisah lain adalah, kera-kera tersebut dilindungi hal gaib karena milik murid kesangan Sunan Kalijaga yaitu Eyang Sentono Renggo. Dia adalah sosok yang juga melakukan babat alas di Ngujang, Tulungagung.
Karena dilindungi gaib, maka dianjurkan masyarakat tidak menganggu kera-kera tersebut. Alkisah ada orang yang menembak mati kera di Ngujang dan akhirnya mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia. Ada juga yang pernah mau menculik kera dan membawanya ke Surabaya. “Di tenah perjalanan anaknya mengalami kesurupan dan minta kera dikembalikan ke Ngujang. Setelah dikembalikan ya sembuh,” katanya.
Menurut Mbah Ribut ini meruapakan pelajaran agar manusia hidup berdampingan dan selaras dengan makhluk lainnya. Makanya saat berkunjung ke lokasi Kethekan Ngujang, banyak oarng yang membawa oleh-oleh untuk kera, mulai dari kacang, roti dan makanan lainnya. Saat diberi makanan, kera-kera tersebut juga akan bergorombol dengan rapi tanpa berusaha merebut. Ada satu ekor kera terbesar duduk bak mengawasi kera-kera kecil yang mengambil makanan dari pengunjung. Mbah Ribut pun memberikan telur mentah kepada kera besar tersebut. “Dia suka telur mentah, ya bisa dianggap pemimpinnya lah,” katanya.
Sebagai juru kunci dia berharap ada perhatian dari pemerintah setempat untuk pelestarian kera-kera di Ngujang. “Saat pak bupati kami masih Pak Heru, tiga periode lalu ya, kami cukup diperhatikan. Ada penanaman pohon-pohon buah, dengan harapan menjadi sumber makanan kera-kera ini. Ada juga kiriman pakan,” katanya. Tapi diakuinya dua periode ini tidak ada lagi perhatian itu.
Menurutnya, bila ada pengembangan sarana prasarana, lokasi kethekan bisa menjadi destinasi wisata potensial. “Misal ada mainan anak, tempat-tempat duduk. Seperti di Bali juga ada kan. Apalagi kera di sini lebih jinak,” kata pria yang sudah 20 tahun jadi juru kunci ini.(*)