
Surabaya – Pelaporan dugaan pencemaran nama baik Walikota Surabaya dianggap berlebihan. Pasalnya pelaporan itu tidak dilakukan sendiri, namun melalui Pemerintah Kota Surabaya (Pemkot). Oleh sebab itu, Ia menganggap Pemkot terkesan menjadi anti kritik.
Hal itu disampaikan Andri Arianto salah satu pemerhati politik UIN Sunan Ampel. "Yang berlebihan itu ketika yang melaporkan dari pihak Pemkot sendiri. Terkesan Pemkot anti kritik," ujarnya, Kamis (6/2/2020).
Laki-laki yang akrab disapa Andri itu juga mengatakan bahwa Tri Rismaharini seharusnya belajar dari proses pemilihan presiden (Pilpres) kemarin. Ia mencontohkan saat presiden Joko Widodo (Jokowi) dikritik habis-habisan oleh lawan politiknya. Bahkan sampai dituduh antek partai yang terlarang. Namun Jokowi tidak melaporkannya. Malah membalas dengan hasil kinerjanya kepada masyarakat.
"Bu Risma bisa belajar dari pengalaman Pilpres. Bandingkan dengan Jokowi sampai dituduh antek PKI. Jokowi tidak meributkan itu dan tidak melaporkan hal itu. Tapi kemudian (Jokowi ) menunjukan kinerjanya," katanya.
Selain itu, Dosen Sosiologi UIN Sunan Ampel ini menyesalkan pelaporan atas dugaan pencemaran nama baik itu. "Kalau bu Risma merasa bisa menunjukan itu (menyelesaikan banjir), kenapa dia harus susah menangkis (ejekan) atau memang sebetulnya bu Risma gagal juga mengatasi banjir di Surabaya?," ujarnya
Perlu diketahui pelaporan dugaan pencemaran nama baik ini bermula dari salah satu akun media sosial (Medsos) yang diduga mengunggah status berupa ejekan penanganan banjir kepada Walikota Surabaya beberapa waktu lalu. Lalu Pemkot melaporkan akun tersebut dengan alasan adanya desakan dari warga Surabaya.
Lanjutnya, Andri menerangkan bahwa saling ejek di Medsos merupakan hal yang lumrah terjadi di masyarakat. Ia menduga hal tersebut terjadi akibat efek dari media yang memberitakan Walikota Surabaya dalam kunjungan kerjanya ke Provinsi DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
"Narasi media secara tidak langsung membandingkan narasi Anies (Gubernur DKI Jakarta, red) dan Risma. Tapi Risma lupa kalau itu (Walikota, red) jabatan politis. Dalam arti Risma punya pendukung, dan Anies juga punya. Lalu bila terjadi saling ejek di Medsos itu tidak bisa dilepaskan dari praktik politik pada masyrakat kita," terangnya.
Selain itu Ia juga menganggap UU ITE kerap digunakan pejabat publik untuk menjerat seseorang. Sayangnya pasal ini justru jarang sekali dipakai oleh masyarakat biasa.
"Selalu menggunakan itu (UU ITE), kalau ada bentuk kritik atau hinaan. Jarang sekali UU ITE yang melaporkan dari warga biasa," pungkasnya. (ard)