
Jakarta - Penetapan kenaikan cukai rokok oleh Kementerian Keuangan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020, dinilai Anggota Komisi XI DPR RI Harry Poernomo sebagai kebijakan dilematis. Menurutnya, sisi dilematisnya adalah pada prespesktif dimana rokok sebagai sumber penyakit, sedangkan disisi lain cukai masih menjadi sumber pendapatan Negara dan kesempatan kerja yang sangat luas.
Seperti yang diketahui, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau rokok sebesar 21,55 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) rokok di kisaran 35 persen.
Lebih lanjut Harry Poernomo mengatakan rokok adalah salah satu sumber penyakit yang sudah diakui dunia, sementara biaya kesehatan harus berhemat karena BPJS sudah shortfall. Namun di sisi lain, politisi Fraksi Partai Gerindra ini mengkhawatirkan nantinya akan banyak industri rokok berskala kecil dan menengah yang berguguran.
“Ada kekhawatiran saya, kalau cukai rokok naik terlalu tinggi, nantinya industri rokok yang masih menggunakan manual, atau kretek linting, akan berguguran. Akhirnya nanti akan menimbulkan pengangguran, inilah dilemanya,” ungkap legislator daerah pemilihan Jawa Tengah VI ini.
Setidaknya, terdapat total 5,9 juta tenaga kerja yang diserap dari Industri Hasil Tembakau (IHT). Dari jumlah tersebut, 4,28 juta diantaranya merupakan pekerja di sektor manufaktur dan distribusi. Sementara sisanya 1,7 juta pekerja di berada di sektor perkebunan.
Selain dari aspek ketenagakerjaan, pendapatan dari cukai rokok sangat tinggi. Pada 2018 lalu, penerimaan cukai mencapai Rp 153 triliun, lebih tinggi disbanding tahun sebelumnya yaitu Rp 147 triliun. “Penerimaan cukai pada tahun lalu telah berkontribusi 95,8 persen terhadap pendapatan cukai nasional,” katanya.
Meski menyumbang pendapatan besar, Harry mengkhawatirkan keuntungan dari kenaikan cukai rokok yang akan diberlakukan nantinya, hanya menguntungkan industri rokok skala besar, seperti pabrik-pabrik rokok yang beroperasi dengan menggunakan mesin dan melakukan produksi secara massal.
“Saya khawatir ini akan berdampak, memang nanti pendapatan naik tapi kemudian efek sampingnya adalah terjadi pengangguran karena banyak pabrik rokok skala kecil dan menengah yang tutup, efeknya juga dirasakan petani tembakau. 35 persen itu terlalu tinggi menurut saya, harusnya bertahap. Mungkin dengan 15 persen dulu, ya sesuai inflasi lah,” pungkasnya. (ufi/ist)