Mencuatnya Kasus BDH yang Melibatkan MA : Status Tersangka Sang 'Brandal' Pemantik Demokrasi

Surabaya- Ternyata, banyak peristiwa di Surabaya yang menjadi tonggak tumbangnya orde baru (orba) dan berseminya demokrasi di negeri ini. Bahkan salah satu tokoh Kota Pahlawan, Bambang DH sempat menyandang status tersangka, saat melakukan gerakan pembubaran kampanye PDI Soerjadi--yang merupakan partai hasil siasat fusi mantan Presiden Soeharto -- di Taman Bungkul pada tahun 1997. Satu kata yang menjadi pegangan Bambang DH saat itu, Demokrasi tak boleh dikekang!
Tiba-tiba sebuah foto surat Polwiltabes Surabaya tertanggal 28 April 1997 mencuat dan menjadi viral. Kertas yang mulai buram tersebut mendapat atensi masyarakat karena ada dua nama besar yang tertera. Pertama Bambang DH, mantan Walikota Surabaya yang saat ini menjabat di Komisi III DPR RI. Kedua Machfud Arifin yang dalam surat itu diduga masih menjabat sebagai Wakasat Serse Polwitabes Surabaya.
Untuk diketahui Machfud (MA) saat ini mencalonkan diri sebagai Walikota Surabaya dalam Pilkada 2020. MA sudah mengantongi dukungan 8 partai dengan jumlah kursi 31 kursi. Selain bakal bertarung dengan calon independen, MA juga harus menghadapi jagoan PDIP dan PSI yang hingga saat ini belum memunculkan nama.
Surat panggilan itu bernomor polisi SPG/168/IV/1997/Serse, didasarkan laporan polisi nomor : K/LPN/307/IV/1997/Serse tanggal 28 April 1997. Dalam surat panggilan yang diantar oleh Letnan Satu Polisi, Bambang Suryanto, NRP 58070854 tersebut, Bambang DH, yang ditulis Bambang, Pekerjaan guru beralamat Jalan Simo Margorejo 1 No 19 Surabaya diminta menghadap Wakasatserse Polwiltabes Surabaya pada Rabu, 30 April 1997 pukul 10.00 WIB di kamar 18. Pria yang pernah menjadi Dosen di IKIP Semarang (kini Universitas Negeri Semarang), itu dijerat dengan pasal 170 KUHP dan pasal 27 ayat 2 UU 15/1989.
Dia dituduh melanggar ketentraman umum karena dianggap membubarkan kampanye PDI Soerjadi di Taman Bungkul. Waktu itu PDI terbelah menjadi dua, PDI Soerjadi yang merupakan hasil Kongres Medan 1996 dan didukung Pemerintah Orde Baru, dan satu lagi PDI Pro Megawati/Promeg.
“Surat pemanggilan Pak Bambang DH, ditandatangani oleh Wakasatserse Kapten Machfud Arifin”, kata Sekretaris DPC PDIP Surabaya, Baktiono, saat dikonfirmasi mengenai kebenaran surat itu, Rabu (8/7).
Bak membuka kotak sejarah, berbagai jejak perjuangan demokrasi pun terungkap dari surat ini.
Baktiono pun bercerita, Bambang DH adalah sosok yang menjadi panutan dalam perjuangan menegakkan demokrasi. “Dia memimpin berbagai demo maupun perlawanan hebat terutama terkait perlawanan terhadap PDI Soerjadi yang merupakan hasil rekayasa Soeharto dan pembantu militernya,” katanya.
Pemerintah orde baru merekayasa kongres PDI di Medan untuk menempatkan Soerjadi menjadi pemimpin partai tersebut. “Kepemimpinan Ibu Megawati hendak didongkel melalui Kongres PDI di Medan yang ilegal, dan dimotori rezim Orde Baru, 20-22 Juni 1996. Soerjadi, yang sebelumnya telah tumbang, dinaikkan lagi menjadi Ketua Umum DPP PDI versi Kongres di Medan,” katanya.
Kongres di Medan mendapatkan perlawanan hebat di berbagai daerah dan kota di Indonesia dari massa PDI Pro-Megawati. Di Surabaya, gerakan perlawanan berpusat di Posko Pandegiling, yang dipimpin Ir. Sutjipto. Mereka menggelar mimbar bebas di depan kantor PDI.
Mimbar bebas yang penuh kritik terhadap orde baru pun memunculkan perlawanan. Akibatnya, usaha Soeharto untuk mengambil alih kepemimpinan Megawati di PDI berujung kerusuhan. Kerusuhan tersebut terjadi di beberapa wilayah di Jakarta dan terus meluas.
Di Jawa Timur, Partai Moncong Putih juga mengalami pergolakan. Berbagai kampanye PDI Soerjadi di Jawa Timur dikudeta oleh PDIP Pro mega. Salah satunya yanga ada di Taman Bungkul dan menyebabkan Bambang DH dipanggil MA dengan status tersangka.
“Betul dan Kampanye 1997 PDI Pro Soerjadi yang pertama kali dimulai saat itu atau pembukaan kampanye PDI yang diakui Pemerintah Rezim Orba dan lokasi di Taman Bungkul. Masa berkaos PDI berkumpul penuh di Taman Bungkul dengan pengawalan ketat terutama oleh Korem Baskara Jaya. Tiba-tiba Mas Bambang DH memakai baju putih naik ke atas panggung dan lolos dari pengamanan Panitia Kampanye maupun pantauan Aparat Korem. Bambang DH kalau tidak salah teriak didepan mic sambil memegang gagangnya "PDI tidak Sah Bubar…bubar,"cerita Baktiono.
Saat itu massa yang memenuhi Taman Bungkul langsung membalik Koas berlogo PDI untuk dipakai kembali dalam keadaan Logo PDI di dalam dan tidak kelihatan gambarnya.
Pasca kejadian itu Bambang DH mendapat surat panggilan polisi."Saat itu, bisa dicek di berita nasional besuknya Panglima TNI Faizal Tanjung menyatakan perusuh Surabaya sudah ditangkap yaitu Bambang DH, " ujar Baktiono.
"Pak Bambang pernah diburu polisi dan di koran Memorandum disebut brandal. Saat itu Kompas, Jawa Pos dan koran lain juga menempatkan sebagai headline karena itu adalah Pembukaan Kampanye Nasional PDI Soerjadi. Jadi Bambang DH memang menjadi semacam pemicu bangkitnya perlawanan Promeg diseluruh tanah air," kenang Baktiono.
Mamik salah satu saksi mengatakan kondisi saat itu memang chaos. “Banyak yang kena pukul tongkat. Bahkan saat itu saya hanya pasrah kepada Allah karena aparat benar-benar melakukan kekerasan,” katanya. Mamik juga melihat dengan mata kepala sendiri salah satu teman perempuannya bernama Sany yang tinggal di Banyuurip dipukuli sampai kepalanya berdarah.
Soenardi alias Gus Nar salah satu Pro Mega yang menjadi saksi sejarah mengatakan kondisi di Taman Bungkul saat itu memang sangat ricuh. "Tapi karena Bambang DH berani, saya juga berani. Kami berbagi tugas, saat Bambang naik ke panggung, saya di depan panggung membentengi massa PDI Soerjadi yang ingin menyerang ke atas panggung," katanya.
Dia mengaku hanya berbekal tekad dan doa saja. "Allah tahu mana yang di dzolimi. Alhamdulillah saya dan rekan-rekan sehat selamat saat itu," tuturnya.
Untuk diketahui, meski ada 3 partai saat orde baru naman semua hanya manipulasi yang dilakukan rezim Orde Baru. PPP, Golkar dan PDI merupakan taktik fusi Soeharto. Sebenarnya semua partai tersebut berada di bawah ‘ketiak’ sang jenderal.
Gagasan fusi sebenarnya sudah pernah tertuang dalam pidato Presiden Soeharto dalam Kongres XII PNI tanggal 11 April 1970 di Semarang. Sebelum itu, wacana penyederhanaan partai-partai politik sudah tertuang dalam Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966.
Pada Pemilu 1977 misalnya pemilihan menggunakan sistem proporsional daftar tertutup. Pemilih tidak dapat melihat wajah dan mengetahui nama calon-calon anggota parlemen yang seharusnya akan dipilih, dan hanya bisa mencoblos partai politik. Hasilnya pun sudah dapat diperkirakan. Golkar menang telak dengan perolehan 62,1 persen suara dan memperoleh 232 kursi di DPR. Di posisi kedua ada PPP dengan 29,2 persen suara (99 kursi DPR, dan PDI menduduki tempat ketiga dengan 8,6 persen suara (29 kursi DPR). Golkar lagi-lagi dominan, Soeharto pun tetap nyaman di puncak kekuasaan.
Kisah pilu perjuangan demokrasi di Indonesia diharapkan menjadi pelajaran agar ke depan negeri ini semakin baik. Salah satu hal yang harus diingat oleh seluruh masyarakat adalah sistem demokrasi yang berjalan di Indonesia tidak boleh tersandera kekuatan uang atau capital serta penggunaan alat negara seperti yang dilakukan oleh orde baru jangan sampai terulang. Hal ini wajib dijaga agar tidak menutup kesempatan calon pemimpin berkualitas maju dalam sistem politik Indonesia.
“Para senior partai mengajarkan pada kami, bahwa PDI Perjuangan didirikan dengan keringat, darah dan air mata, bahkan nyawa. PDI Perjuangan didirikan dengan jiwa yang penuh martabat. Tidak sekadar melalui akta notaris,” tutur Gus Nar.
Melihat luar biasanya pekik demokrasi yang diperjuangkan saat itu, kita tak pernah menyesal dan takut untuk terus berjuang. “Disekap aparat dan berkali-kali mendapat tindak kekerasan, hingga terluka berdarah-darah tak ada artinya dibanding kebebasan demokrasi untuk masa depan anak cucu bangsa,” tutup Gus Nar. (*)